Drama Satir Aktor-Aktor Realis

Oleh : Novyandi Saputra

Bacaan Lainnya

Sekitar satu bulan yang lalu saya mendapatkan kabar bahwa akan ada sebuah pertunjukan kolaborasi teater yang di inisiasi oleh Sindang Langit Art. Para aktor yang terlibat juga tidak main-main yakni Bayu Bastari dengan posisi aktor sekaligus Sutradara, Romi Arijadi, Fauzi Anshari, dan Iyai. Praktis hanya Iyai yang saya anggap baru karena selama ini saya tahunya Iyai selalu berada di belakang layar menjadi juru dokumentasi pertunjukan.

Di kalangan penonton teater nama-nama seperti Bayu, Romi dan Fauzi bukanlah orang sembarangan, mereka memang memiliki jejak rekam kekaryaan yang baik, setiap tahunnya selalu melahirkan karya-karya baru baik secara individu maupun kolaborasi. Sedangkan Iyai adalah pengecualian untuk kali ini, hadir sebagai aktor “kejutan” yang membuat penonton sedikit penasaran dengan sosoknya.

Selama ini para actor ini dikenal dengan aliran kekaryaan yang ber-genre realis juga dengan naskah-naskah yang sudah punya nama dalam perteateran di Indonesia. Saya kira cukup untuk persoalan aktor-aktor yang berperan dalam karya ini. Saya kemudian ingin masuk lebih dalam pada karyanya. Karya ini dipentaskan pada tanggal 27 Juli 2019 dengan format dua kali pertunjukan.

Karya yang berdurasi kurang lebih satu jam ini dimainkan dengan set artistik yang menggambarkan persiapan pementasan sebuah pertunjukan teater.  Naskah “Aktor-Aktor Yang Tersesat Dalam Drama Tanda Tanya” karya Irwan Jamal ini memiliki gambaran tentang rencana pertunjukan yang kehilangan salah satu aktornya sehingga semua aktor kemudian berfikir untuk merubah naskah, mangakalinya bahkan hingga usaha untuk membatalkan pertunjukkan tersebut. Sepanjang pertunjukan saya merasa dibawa pada suasana pertunjukan yang belum juga di mulai. Para aktor bermain dengan rapi dan menjadi diri sendiri.

Menjadi diri sendiri mampu membuat penonton dekat dengan situasi yang diciptakan oleh sutradara. Saya secara pribadi tidak merasa melihat orang lain yang diperankan oleh para aktor tersebut. Saya merasa dekat dan melihat Bayu, Romi, Fauzi dan Iyai yang sedang membangun suasana realitas sebelum pertunjukan.

Hal itu semakin kuat dengan nama yang mereka gunakan adalah ama mereka sendiri. Namun pada sisi lain saya juga menaruh kecurigaan dengan cara mereka menjadi diri sendiri ini. Saya curiga mereka sedang berusaha main aman tanpa harus berfikir keras dengan latihan yang sedikit unutk menciptakan narasi tokoh baru. Secara vokal semua aktor hampir bisa menjaga stabilitas suaranya kecuali Iyai yang masih sangat terlihat bahwa ini wahana baru baginya sehigga pada beberapa adegan yang penting teks-teks yang Iyai sampaikan seperti sayup-sayup terdengar dan kurang jelas.

Sepanjang pertunjukan ini saya dan mungkin saja penonton lainnya merasakan bagaimana drama ini dibentuk sangat absurd dengan satir-satir yang ditumbuhkan untuk menciptakan pertanyaan besar tentang bagaimana caranya mempertunjukan teater dengan keadaaan salah satu aktornya tak kunjung datang. Secara implisit saya bisa membaca dari cara pembawaan naskah dan alur yang dibangun oleh sutradara sebagai sebuah kritik terhadap ruang teater yang ada sekarang ini. Tentu saja karya ini juga auto-kritik terhadap para aktor yang terlibat dalam pertunjukan ini dan menjadi kritik bagi para pelaku teater dan penonton yang hadir menyaksikan.

Menariknya ke-absurd-an dalam teks-teks satir  yang dihadirkan merupakan peristiwa yang sebenarnya sering terjadi pada proses pra-produksi karya seni pertunjukan sehingga tentu saja bisa saya rasakan atmosfir semacam itu memiliki daya ikat kuat untuk para pelaku seni pertunjukan (tidak sekedar teater). Pada pertunjukan ini juga begitu banyak teks-teks yang dihadirkan berdasarkan pada pemahaman tokoh-tokoh teater dunia dengan dominasi Sheakspears. Saya seperti disuguhi sebuah knowledge ruang teater.

Pada sisi lain secara genre pertunjukan kali ini sungguh berada pada wilayah yang ambigu, kadang terasa seperti drama musikal, kadang seperti opera, kemudian sangat abusrd dan satir namun pada nyatanya sangat kuat platform yang menjadi pengikatnya adalah realis. Tentu saja ke”ambigu”an ini saya kira kesengajaan yang tidak main-main digarap oleh sutradara yang sekaligus aktor dalam pertunjukan ini.

Saya kira sebenarnya garapan ini bisa lebih “nakal” dan benar-benar keluar dari batas aman para aktornya. Namun lagi-lagi tentu saja semua punya wacana yang berbeda, dan wacana itu lah yang melahirkan karya-karya semacam ini. Karena kesenian bukan persoalan benar salah, tapi lebih pada penyampaian gagasan yang berketerimaan. Pertunjukan yang digagas ini saya kira telah berhasil menyampaikan gagasannya kepada mayoritas penonton yang hadir.

Set lampu yang tidak terlalu meriah dengan lebih banyak menggunakan tata lampu sederhana juga memberi kesan tentang pra produksi. Saya tentu saja akan sedikit bingung jika banyak warna yang digunakan dalam pertunjukan itu. Tata lampu seperti itu menambah kesan realitas pra-produksi. Tata lampu seperti ini tentu saja memerlukan pembacaan yang kuat oleh penata lampunya untuk menghadirkan suasana yang realis. Pada beberapa bagian ada satu titik lampu yang kadang menyala terang dan kadang redup, saya menduga itu kendala teknis yang seharusnya menjadi perhatian penata lampu.

Terlepas dari baik atau tidaknya pertunjukan ini semua kembali pada bagaimana wawasan dan pengalaman para penonton yang hadir. Selalu lahir cara pembacaan-pembacaan baru terhadap sebuah pertunjukan seni (kali ini teater) yang seharunya mampu memperkaya pengetahuan pertujukan kita. saya masih akan setia menunggu dan hadir berbagi energi untuk tumbuh kembang seni pertunjukan di Banua. Selamat atas pentas kolaborasinya Sindang Langit Art.

Banjarbaru, 2 Agustus 2019

 

 

Pos terkait