KabarKalimantan, Muara Teweh – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Barito Utara (Barut) Kalimantan Tengah berlangsung sangat dramatis.
Dua pasangan yang bertarung yakni pasangan nomor urut 1 H Purman Jaya dan Hendro Nakalelo (Gogo-Helo) dan pasangan nomor urut 2 Akhmad Gunadi Nadalsyah dan Sastra Jaya bersaing sangat ketat untuk menjadi pemimpin di kabupaten yang memiliki semboyan “Iya Mulik Bengkang Turan” dari bahasa Tewoyan atau Taboyan (Hajak) yang artinya “Jangan berhenti di Tengah Jalan”.
Pada Pilkada serentak 2024 lalu, KPU Barito Utara menetapkan kemenangan pasangan Gogo-Helo dengan total perolehan suara 42.310 suara. Sedangkan pasangan Agi-Saja mendapatkan 42.302 suara. Selisih kekalahan 8 suara ini membuat kubu nomor urut 2 Agi-Saja tidak puas. Mereka pun melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Hasilnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Perkara Nomor 28/PHPU.BUP-XXIII/2025 terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Bupati Barito Utara 2024. Dalam amar putusan tersebut, MK memerintahkan KPU Barito Utara untuk melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di dua TPS yakni, TPS 01 Kelurahan Melayu dan TPS 04 Malawaken.
Berdasarkan jadwal yang ditetapkan PSU dilaksanakan pada 22 maret 2025. Nah, drama Kembali terjadi jelang pelaksanaan PSU. Pada Jumat, 14 Maret 2025 media sosial dan pemberitaan dari lokal hingga nasional dihebohkan dengan penggerebekan terkait dugaan praktik politik uang (money politics).
Sebanyak sembilan orang terduga pelaku ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar di Jalan Simpang Pramuka II, Muara Teweh pada Jumat (14/03/2025). Salah satu yang diamankan adalah bendahara tim pemenangan pasangan nomor urut 2 Agi-Saja.
Ketua Bawaslu Kabupaten Barito Utara, Adam Parawansa, membenarkan adanya temuan tindak pidana politik uang ini.
“Kami sudah melakukan klarifikasi terhadap berbagai pihak terkait dan mengumpulkan fakta di lapangan. Berdasarkan kajian tersebut, kami memutuskan bahwa temuan ini memenuhi unsur tindak pidana pemilihan, dan harus diteruskan ke kepolisian,” ungkap Adam pada Rabu (19/3/2025).
Kasus ini berawal dari laporan Malik Muliawan, tim hukum pasangan bupati dan wakil bupati nomor urut 01, Gogo Purman Jaya dan Hendro Nakalelo. Laporan tersebut disampaikan pada Kamis (16/03/2025), yang mengungkap dugaan pelanggaran politik uang oleh tim paslon nomor urut 02, Akhmad Gunadi Nadalsyah dan Sastra Jaya (AGI-Saja).
Selain itu, laporan juga menyertakan rekomendasi pelanggaran administratif yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif. “Berdasarkan hasil kajian kami, laporan ini sudah memenuhi syarat formil dan materiil, dan kami akan menyerahkan laporan ini kepada Bawaslu Provinsi Kalimantan Tengah untuk ditindaklanjuti sesuai kewenangannya,” tambah Adam.
Tak ayal dugaan terjadinya praktik politik uang ini membuat pendukung pasangan nomor urut 1 Gogo Purman Jaya dan Hendro Nakalelo bereaksi. Mereka menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Bawaslu Kabupaten Barito Utara pada Senin (17/03/2025).
Mereka menuntut Bawaslu untuk mengeluarkan rekomendasi diskualifikasi terhadap paslon nomor urut 02, AGI-Saja, karena diduga terlibat dalam praktik politik uang.
Sementara itu, berdasarkan siaran pers resmi Bawaslu Kabupaten Barito Utara tertanggal 18 Maret 2025 dengan nomor 01/TM/PB/Kab/21.04/III/2025, pihaknya telah mencatat temuan dugaan politik uang ke dalam Form A.2.
Temuan tersebut mencakup barang bukti berupa uang tunai, specimen surat suara, takjil berbuka puasa, dan data pemilih.
Setelah melalui kajian dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu), Bawaslu Kabupaten Barito Utara memutuskan untuk melimpahkan kasus ini ke tahap penyidikan oleh Polres Barito Utara.
Sementara itu, setelah melakukan pemeriksaan akhirnya Polres Barito Utara menetapkan tiga orang tersangka kasus dugaan politik uang. Ketiga tersangka itu terdiri dari dua laki-laki inisial MAR dan TRB, serta satu orang wanita inisial WTW.
Kapolres Barito Utara, AKBP Singgih Febriyanto mengungkapkan, dua pria tersebut bekerja sebagai wirausaha.
Sedangkan, tersangka perempuan bekerja sebagai kepala sekolah di Taman Kanak-kanak.
Singgih menjelaskan, kasus ini merupakan kasus spesialis karena berkaitan dengan pemilu. Karena itu, juga dibutuhkan penganan khusus yang diberi waktu 14 hari. “Kerja ini bukan dari kepolisian saja, tapi gakkumdu, jadi ada dari Bawaslu, kejaksaan dan kepolisian,” kata Singgih, Minggu (23/3/2025).
Di tengah maraknya dugaan politik uang, Komisi Pemilihan Pemilu (KPU) Barito Utara tetap menggelar PSU sesuai jadwal yang telah ditetapkan yakni 22 Maret 2025.
Hasilnya, pasangan nomor urut 2 Agi Saja unggul di dua TPS tersebut. Di TPS 01 Melayu, terdapat total 515 suara yang masuk dengan 4 suara tidak sah. Dari total suara tersebut, pasangan calon nomor urut satu Purman Jaya dan Hendro Nakalelo (Gogo-Helo) hanya memperoleh 185 suara. Sementara pasangan dua Agi-Saja memperoleh 326 suara.
Sementara itu, di TPS 04 Desa Malawaken total suara yang masuk sebanyak 507 suara dengan 6 suara tidak sah. Pasangan Gogo-Helo meraih 236 suara, sedangkan pasangan Agi-Saja kembali unggul dengan 265 suara.
Kemenangan yang diraih pasangan Agi-Saja di tengah maraknya isu politik uang ini tentu saja ditolak oleh kubu pasangan Gogo-Helo. Bahkan, saksi pasangan calon (Paslon) Bupati dan Wakil Bupati nomor urut 01, H Gogo Purman Jaya dan Hendro Nakalelo (Gogo-Helo) menolak untuk menandatangani berita acara hasil pemilihan suara ulang (PSU) Pilkada Barito Utara, Kalimantan Tengah (Kalteng). Aksi tersebut dilakukan di TPS 04 Malawaken dan TPS 01 Kelurahan Melayu, Sabtu (22/3/2025).
Penolakan untuk tandatangan diungkapkan diakui saksi Paslon H Gogo-Helo, Rutut. “Iya benar kami tidak menandatangani berita acara (C-1 Hasil penghitungan suara),” kata Rutut.
Mereka enggan menandatangani berita acara penetapan hasil penghitungan suara itu karena menilai ada banyak kecurangan yang terjadi didalamnya. Salah satunya, perihal politik uang.
Menurutnya, tercederainya pesta demokrasi di Kabupaten Barito Utara karena baru-baru ini viral ada operasi tangkap tangan (OTT) di Jalan Simpang Pramuka II, Muara Teweh, pada 14 Maret 2025 lalu. “Karena masalah kasus OTT pilkada uang kemarin kan masih berjalan, dan belum ada putusan hukum atau inkrahnya,” bebernya.
Kuasa Hukum Tim Gogo Helo M Junaedi Lumban Gaol SH MH pun turut bereaksi. Ia menilai, terdapat fakta hukum pelanggaran serius yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Barito Utara yaitu tidak melaksanakan perintah Mahkamah Konstitusi (MK) amar yang ke tiga sehingga menyebabkan hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) pada Sabtu, (22/3/2025) menjadi cacat hukum.
“Perintah MK pada putusannya amar yang ke tiga sudah sangat jelas dan terang memerintahkan KPU Barito Utara untuk melakukan PSU tanggal 22 Maret 2025 di TPS 01 Kelurahan Melayu dan TPS 04 Desa Malawaken, Kabupaten Barito Utara dengan mengikut sertakan pemilih yang tercatat dalam daftar pemilih tetap, daftar pemilih pindahan dan daftar pemilih pindahan yang sama dengan pemungutan suara pada tanggal 27 November 2024 untuk pemilihan Bupati dan wakil Bupati Kabupaten Barito Utara sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam waktu 30 puluh hari sejak putusan Aquo diucapkan,” kata Junaedi Lumban Gaol, Selasa (25/3/2025).
Ia menjelaskan, yang terjadi pada PSU tersebut telah menghadirkan pemilih yang tidak sama dengan yang tercatat pada pemungutan suara tanggal 27 November 2024.
“Jumlah yang dihadirkan menjadi pemilih sangat melonjak drastis, semula di TPS 01 Kelurahan Melayu pemilih yang tercatat hadir tanggal 27 November 2024 hanya 387 pemilih, saat PSU menjadi 515 pemilih, demikian pula TPS 04 Desa Malawaken, semula pada pilkada serentak tanggal 27 November 2024 yang tercatat hadir 388 pemilih, kemudian pada PSU melonjak menjadi 507 pemilih, pembengkakan pemilih hampir 60% dari yang tercatat pada Pilkada serentak tanggal 27 November 2024,” jelas Junaedi Lumban Gaol.
Ditambah Junaedi bahwa pelanggaran serius ini telah berdampak pada hasil PSU menjadi cacat hukum, dan kejadian ini diduga kuat karena faktor sengaja oleh penyelenggara pemilukada untuk memenangkan pasangan calon tertentu.
“Ditambah faktor maraknya politik uang yang dilakukan oleh tim pasangan calon tertentu yang informasinya Rp 15 juta sampai Rp 16 juta per suara, dengan perincian dibayar Rp 1 juta tahap pengumpulan KTP, kemudian dibayar Rp 5 juta setelah sinkronisasi data pemilih, dan dibayar Rp 10 juta beberapa jam sebelum pelaksanaan PSU,” jelas Junaedi Lumban Gaol.
Sementara itu, penasihat hukum tim kampanye pasangan Gogo-Helo, Rusdi Agus Susanto SH mengapresiasi tindakan tegas penegak hukum terkait penetapan para tersangka kasus dugaan pelanggaran politik uang dalam Pilkada Barut.
Hal itu disampaikan Rusdi saat ditemui media di Pengadilan Negeri (PN) Palangka Raya, Senin (24/3).
“Kami berterima kasih kepada penyidik karena telah profesional dalam melakukan penetapan tiga tersangka terkait operasi tangkap tangan praktik politik uang,” kata Rusdi.
Rusdi berharap kepolisian bisa secepatnya menyelidiki dan menuntaskan kasus ini secara profesional. Saat diminta pendapat terkait pelaksanaan PSU Batara, Rusdi menilai pihak penyelenggara, dalam hal ini KPU dan Bawaslu, telah gagal melaksanakan PSU tersebut, sebagaimana yang diamanatkan dalam putusan MK RI terkait pelaksanaan Pilkada Batara tahun 2025.
Rusdi menilai PSU tersebut gagal karena adanya pembiaran dugaan praktik politik uang yang dilakukan salah satu paslon, sehingga hasil perolehan suara di dua TPS yang digelar PSU tersebut tidak murni.
Pihaknya menilai PSU yang dilaksanakan KPU dan seharusnya diawasi Bawaslu ini, telah gagal akibat terjadinya pelanggaran pemilu berupa permainan politik uang oleh salah satu paslon.
Dia juga menyatakan, tim kampanye Gogo-Helo pasti akan menggugat ke MK penetapan hasil Pilkada Batara. “Karena PSU ini sudah kami anggap gagal, maka kami akan ajukan gugatan ke MK,” ucapnya tegas.
Rusdi menerangkan, alasan MK memerintahkan KPU menggelar PSU di TPS 01 Kelurahan Melayu, Kecamatan Teweh Tengah dan TPS 04 Desa Malawaken, Kecamatan Teweh Baru karena MK menilai hasil pemungutan suara di dua TPS itu bukan hasil yang murni.
“Persoalannya karena satu TPS di Malawaken ada 15 pemilih yang tidak membawa KTP, kemudian di TPS 01 Melayu ada dua selisih suara dalam hasil rekapitulasi. Jadi, alasan MK memutuskan melakukan PSU adalah untuk menjaga kemurnian hasil pemilihan,” terang Rusdi, lalu menyebut majelis hakim MK menilai terdapat 17 hasil surat suara yang dianggap tidak normal dari dua TPS itu.
Akan tetapi, dengan adanya kasus OTT dugaan praktik politik uang menjelang PSU di Batara, Rusdi menyebut itu menjadi bukti kuat bahwa PSU telah gagal dilaksanakan sebagaimana perintah MK. Menurutnya, OTT itu menjadi bukti terjadinya pelanggaran pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam pelaksanaan PSU di Kabupaten Barut.
Rusdi menuturkan, pihaknya sudah mendapatkan bukti berupa daftar ceklis nama 72 warga yang disebut sebagai pihak penerima uang dari tim kampanye salah satu paslon. Adapun nilai uang yang diterima 72 orang itu bervariasi, dari Rp10 juta hingga Rp16 juta per orang.
“Dari keterangan salah satu saksi penerima uang yang diperiksa polisi, nilai uang yang diterima adalah Rp10 juta, Rp15 juta, Rp 16 juta per orang,” kata Rusdi yang mengaku ikut mendampingi warga bersangkutan saat diperiksa polisi.
Berdasarkan keterangan saksi itu, penyerahan uang kepada warga dilakukan dalam tiga tahap, bahkan sejak sebelum gugatan Pilkada Batara diputuskan oleh MK. “Berdasarkan keterangan saksi ini, berkembang lagi bahwa dari bulan Desember sebelum putusan MK sudah ada DP Rp1 juta, lalu pada awal Februari Rp5 juta, dan terakhir Rp10 juta,” beber Rusdi.
Lebih lanjut dikatakannya, dari 72 orang warga yang namanya terdaftar dalam ceklis itu, hanya 3 orang saja yang diperiksa penyidik. Artinya, masih ada 69 orang lagi yang namanya terdaftar dalam ceklis itu yang masih melenggang bebas dan kemungkinan mereka pun ikut mencoblos saat digelar PSU.
“Kemarin MK memerintah PSU karena ada 17 suara yang dianggap tidak murni, tetapi sekarang ini ada 72 orang atau 72 suara yang terdaftar dalam ceklis karena diduga sudah menerima uang ikut memilih, siapa yang bisa menjamin kemurnian suara mereka,” kata Rusdi.
Karena itu, pihaknya menilai penyelengara pemilu, dalam hal ini KPU dan Bawaslu, ikut harus bertanggung jawab dalam masalah ini. “PSU ini telah gagal dilaksanakan oleh KPU dan gagal diawasi oleh Bawaslu sesuai amanah konstitusi. Karena itu, KPU dan Bawaslu harus bertanggung jawab,” tegas Rusdi, dan memastikan pihaknya akan mengajukan gugatan ke MK atas hasil PSU di Kabupaten Barut.(*)
Wartawan: Muhammad Ridha dikutip dari berbagai sumber